B A B III KETENTUAN TEKNIS BANGUNAN

Bagian Pertama
Ketentuan Arsitektur Lingkungan
Pasal 40

Setiap bangunan harus sesuai dengan peruntukan yang diatur dalam rencana kota.
Penggunaan jenis bangunan pada lingkungan peruntukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, dimungkinkan adanya penggunaan lain sebagai pelengkap atau penunjang kegiatan utama yang diatur sesuai tabel pada lampiran I Peraturan Daerah ini.
Setiap bangunan yang didirikan pada daerah peruntukan campuran, harus aman dari bahaya pencemaran lingkungan dan bahaya kebakaran.

Pasal 41
Tata letak bangunan dalam suatu bagian lingkungan harus dirancang dengan memperhatikan keserasian lingkungan dan
memudahkan upaya penanggulangan bahaya kebakaran.

Pada lokasi-lokasi tertentu Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan pengarahan rencana tata letak bangunan dalam suatu bagian lingkungan.



Pasal 42
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan suatu lokasi khusus untuk bangunan fasilitas umum, dengan tetap memperhatikan keamanan, kesehatan, keselamatan serta keserasian lingkungan.
Pasal 43
Penempatan bangun-bangunan, tidak boleh mengganggu ketertiban umum, lalu-lintas, prasarana kota dan pekarangan bentuk arsitektur bangunan dan lingkungan, serta harus memenhi kekuatan struktur dengan memperhatikan keserasian, keselamatan dan keamanan lingkungan.
Pasal 44
Pada daerah tertentu Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan ketentuan khusus tentang pemagaran bagi suatu pekarangan kosong atau sedang dibangun, serta pemasangan papan-papan nama proyek dan sejenisnya dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan.
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan suatu lingkungan bangunan dimana tidak diperkenankan membuat batas fisik atau pagar pekarangan.

Pasal 45
Pada lingkungan bangunan tertentu Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan ketentuan penggunaan setiap lantai dasar atau lantai lainnya pada bangunan, untuk kepentingan umum.
Pasal 46
Pada daerah atau lingkungan tertentu Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan tata cara membangun yang harus diikuti dengan memperhatikan keamanan, keselamatan, keindahan dan keserasian lingkungan.
Pasal 47
Setiap bangunan yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang mengganggu, harus dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan.
Setiap bangunan yang menghasilkan limbah atau buangan lainnya yang dapat menimbulkan pencemaran, harus dilengkapi dengan sarana pengolah limbah sebelum dibuang ke saluran umum.

Pasal 48
Bangunan yang didirikan harus memenuhi persyaratan KDB dan KLB sesuai dengan rencana kota yang ditetapkan.
Gubernur Kepala Daerah dapat memberikan kelonggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini untuk bangunan perumahan dan bangunan sosial dengan memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.


Pasal 49

Setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana perpetakan yang diatur dalam rencana kota.
Apabila perpetakan tidak dipenuhi atau tidak ditetapkan, maka KDB dan KLB diperhitungkan berdasarkan luas tanah dibelakang GSJ yang dimiliki.
Pengabungan atau pemecahan perpetakan dimungkinkan dengan ketentuan KDB dan KLB tidak dilampaui, dan dengan memperhitungkan keadaan lapangan, keserasian dan keamanan lingkungan serta memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan.

Pasal 50
Untuk tanah yang belum atau tidak memenuhi persyaratan luas minimum perpetakan, Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan lain dengna memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.
Pasal 51
Salah satu pekarangan pekarangan harus berbatasan dengan jalan umum yang telah ditetapkan dengan lebar minimal 3 m.
Letak pintu masuk utama bangunan harus berorientasi ke jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini.




Pasal 52

GSB ditetapkan dalam rencana kota.
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan lebih lanjut tentang perletakan bangunan terhadap GSB, dengan memperhatikan keserasian, keamanan dan arsitektur lingkungan.


Pasal 53
Dalam hal membangun bangunan layang diatas jalan umum, saluran dan atau sarana lainnya, harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Gubernur Kepala Daerah.
Bangunan layang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini tidak boleh mengganggu kelancaran arus lalu-lintas kendaraan, orang dan barang, tidak mengganggu dan merusak sarana kota maupun prasarana jaringan kota yang berada di bawah atau diatas tanah, serta tetap memperhatikan keserasian dan arsitektur lingkungan.


Pasal 54
Bangunan yang akan dibangun di bawah tanah yang melintas sarana kota harus mendapat izin Gubernur Kepala Daerah dan harus memenuhi persyaratan:
tidak diperkenankan untuk tempat tinggal;
tidak mengganggu fungsi prasarana (jaringan kota) dan sarana kota yang ada;
penghawaan dan pencahayaan harus memenuhi persyaratan kesehatan pada setiap jenis bangunan sesuai dengan fungsi bangunan;
memiliki sarana khusus bagi keamanan dan keselamatan pemakai bangunan.


Pasal 55
Bangunan yang dibangun di atas atau di dalam air harus mendapat izin dari Gubernur Kepala Daerah dan harus memenuhi persyaratan:
sesuai dengan rencana kota;
aman terhadap pengaruh negatif pasang surut air;
penggunaannya tidak mengganggu keseimbangan lingkungan, tidak menimbulkan perubahan arus air yang dapat merusak lingkungan sekitarnya dan tidak menimbulkan pencemaran;
penggunaan bahan yang aman terhadap kerusakan karena air;
penghawaan dan pencahayaan harus memenuhi persyaratan kesehatan pada setiap jenis bangunan sesuai dengan fungsi bangunan;
ruangan dalam bangunan di bawah air harus memiliki sarana khusus bagi keamanan dan keselamatan pemakai bangunan.

Pasal 56
Pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi, letak bangunan minimal 10 m dari as jalur tegangan tinggi terluar serta tidak boleh melampui garis sudut 45 derajat (empat puluh lima derajat), yang diukur dari as jalur tegangan tinggi terluar.
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan lain dengan memperhatikan pertimbangan para ahli.


Pasal 57
Bangunan yang didirikan harus berpedoman pada pola ketinggian lingkungan bangunan yang ditetapkan dalam rencana kota.
Gubernur Kepala Daerah demi kepentingan umum tertentu dapat memberi kelonggaran atas ketinggian bangunan pada lingkungan tertentu dengan memperhatikan keserasian dan kelestarian lingkungan, KDB dan KLB serta keamanan terhadap bangunan.



Pasal 58
Setiap perencanaan bangunan harus memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur lingkungan yang ada di sekitarnya.
Setiap bangunan yang didirikan berdampingan dengan bangunan pemugaran, harus serasi dengan bangunan pemugaran tersebut.

Pasal 59
Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak merusak keserasian lingkungan atau merugikan pihak lain.
Pasal 60
Bagi daerah yang belum memiliki rencana teknik ruang kota, Gubernur Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan membangun pada daerah tersebut, untuk jangka waktu sementara.
Apabila kemudian hari ada penetapan rencana teknik ruang kota, maka bangunan tersebut harus disesuaikan dengan rencana kota yang ditetapkan.

Pasal 61
Gubernur Kepala Daerah dapat memberikan persetujuan sementara untuk mempetahankan jenis penggunaan lingkungan bangunan yang ada pada perumahan daerah perkampungan yang tidak teratur, sampai terlaksananya lingkungan peruntukan yang ditetapkan dalam rencana kota.
Pada lokasi tertentu, Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan jenis bangunan dengan permanensi tertentu yang bersifat sementara, dengan mempertimbangkan segi keamanan, pencegahan kebakaran dan sanitasi.

Pasal 62
Lingkungan bangunan pada daerah yang rencana kotanya belum dapat ditetapkan, untuk sementara masih diperkenankan mempertahankan peruntukan dan atau jenis penggunaannya yang ada, sejauh tidak mengganggu kepentingan umum dan keserasian kota.
Bangunan yang ada dalam lingkungan yang mengalami perubahan rencana kota, dapat melakukan perbaikan, sesuai dengan peruntukan dan karakter bangunan lama.
Apabila dikemudian hari ada pelaksanaan rencana kota maka bangunan tersebut harus disesuaikan dengan rencana yang
ditetapkan.

Pada lingkungan bangunan tertentu, dapat dilakukan perubahan penggunaan jenis bangunan yang ada, selama masih sesuai dengan golongan peruntukan rencana kota, dengan tetap memperhatikan keamanan, keselamatan, kesehatan serta gangguan terhadap lingkungan dan kelengkapan fasilitas dan utilitas sesui dengan penggunaan baru.

Pasal 63
Atap bangunan dalam lingkungan yang letaknya berdekatan dengan bandara udara tidak diperkenankan dibuat dari bahan yang menyilaukan.
Ketinggian bangnan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, tidak diperkenankan mengganggu lalu-lintas udara.

Pasal 64

Setiap perancangan arsitektur lingkungan harus memperhatikan tersedianyan sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan standar lingkungan dan persyaratan teknis yang berlaku.

Pasal 65
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan suatu daerah sebagai daerah bencana, daerah banjir, dan yang sejenisnya.
Pada derah bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan larangan membangun atau menetapkan tata cara membangun, dengan mempertimbangkan keamanan, keselamatan dan kesehatan lingkungan.


Pasal 66
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan lingkungan bangunan yang mengalami kebakaran sebagai daerah tertutup dalam jangka waktu tertentu dan atau membatasi, melarang pembangunan bangunan di dalam daerah tersebut.
Bangunan-bangunan pada lingkungan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, dengan memperhatikan keamanan, keselamatan dan kesehatan, diperkenankan mengadakan perbaikan darurat, bagi bangunan yang rusak atau membangun bangunan sementara untuk kebutuhan darurat dalam batas waktu penggunaan tertentu dan dibebaskan dari izin.
Gubernur Kepala Daerah dapat menentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, sebagai daerah peremajaan kota.



Bagian Kedua
Persyaratan Arsitektur Bangunan

Paragraf 1
Persyaratan Tata Ruang


Pasal 67
Dalam perencanaan suatu bangunan atau lingkungan bagunan, harus dibuat perencanaan yang menyeluruh yang mencakup rencana sirkulasi kendaraan, orang dan barang, pola parkir, pola penghijauan, ruang terbuka, sarana dan prasarana lingkungan, dengan memperhatikan keserasian terhadap lingkungan dan sesuai dengan standar lingkungan yang ditetapkan.
Pasal 68
Tata letak bangunan di dalam suatu tapak harus memenuhi ketentuan tentang jarak bebas, yang ditentukan oleh jenis peruntukkan dan ketinggian bangunan.
Pasal 69
Setiap bangunan harus memenuhi persyaratan fungsi utama bangunan, keselamatan dan keamanan, kesehatan, keindahan dan keserasian lingkungan.
Suatu bangunan dapat terdiri dari beberapa ruangan dengan jenis penggunaan yang berbeda, sepanjang tidak menyimpang dan persyaratan teknis yang ditentukan dalam Peraturan Daerah ini.
Setiap bangunan selain terdiri dari ruang-ruang fungsi utama harus pula dilengkapi dengan ruang pelengkap serta instalasi dan perlengkapan bangunan yang dapat menjamin terselenggaranya fungsi bangunan, sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Lantai, dinding, langit-langit dan atap yang membentuk suatu ruangan baik secara sendiri-sendiri maupun menjadi satu kesatuan, harus memenuhi persyaratan kesehatan, keselamatan dan keamanan bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 70
Penambahan lantai dan atau tingkat pada suatu bangunan diperkenankan apabila masih memenuhi batas ketinggian yang
ditetapkan dalam rencana kota, sejauh tidak melebihi KLB dan harus memenuhi kebutuhan parkir serta serasi dengan
lingkungannya.

Penambahan lantai tingkat dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, harus memenuhi persyaratan keamanan struktur sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.






Paragraf 2
Ruang Luar Bangunan


Pasal 71
Ruangan terbuka di antara GSJ dan GSB harus digunakan sebagai unsur penghijauan dan atau daerah peresapan air hujan serta kepentingan umum lainnya.
Pasal 72
Ketentuan sementara tentang tatacara dan persyaratan membangun pada daerah-daerah yang rencana kotanya belum dapat diterapkan sepenuhnya dapat ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
Pasal 73
Bagian atau unsur bangunan yang dapat terletak di depan GSB adalah:
detail atau unsur bangunan akibat keragaman rancangan arsitektur dan tidak digunakan sebagai ruang kegiatan;
detail atau unsur bangunan akaibat dari rencana perhitungan struktur dan atau instalasi bangunan;
unsur bangunan yang diperlukan sebagai sarana sirkulasi.

Pasal 74
Pada cara membangun renggang, sisi bangunan yang didirikan harus mempunyai jarak bebas yang tidak dibangun pada kedua sisi samping kiri, kanan dan bagian belakang yang berbatasan dengan pekarangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Pada cara membangun rapat tidak berlaku ketentuan pada ayat (1) Pasal ini, kecuali jarak bebas bagian belakang.

Pasal 75
Pada bangunan renggang, jarak bebas samping maupun jarak bebas belakang ditetapkan 4 m pada lantai dasar, dan pada setiap penambahan lantai, jarak bebas di atasnya ditambah 0,05 m dari jarak bebas lantai di bawahnya sampai mencapai jarak bebas bangunan gudang dan industri diatur sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 81.
Pasal 76
Pada bangunan rapat dari lantai satu hingga lantai empat, samping kiri dan kanan tidak ada jarak bebas, sedang untuk lantai selanjutnya harus mempunyai jarak bebas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 75.
Gubernur Kapala Daerah dapat menetapkan pola dan atau dengan arsitektur bagi bangunan yang berdampingan atau berderet termasuk perubahan dan atau penambahan bangunan.

Pasal 77
? Pada bangunan rumah tinggal renggang dengan perpetakan yang sudah diatur pada denah dasar dan tingkat ditentukan:
? jarak bebas samping minimal:
rumah ladang atau perdusunan, 8 m sepanjang sisi samping pekarangan untuk bangunan induk dan untuk bangunan turutan 2 m sepanjang sisi samping pekarangan;
rumah kebun, 5 m sepanjang sisi samping pekarangan;
rumah besar, lebar dan batas pekarangan samping 3 m dan kedalaman 5 m dari GSB atau sama dengan jarak antara GSB dan GSJ;
rumah sedang, lebar dari batas pekarangan samping 2 m dengan kedalaman 4 m dari GSB atau sama dengan jarak antara GSB dan GSJ;
rumah kecil, lebar dari batas pekarangan samping 1,50 m dengan kedalaman 3 m dari GSB sama dengan jarak antara GSB dan GSJ.
? jarak bebas belakang minimal:
rumah ladang atau pedusunan 10 m sepanjang sisi belakang pekarangan dan untuk bangunan turutan 2 m sepanjang sisi belakang pekarangan;
rumah kebun, 8 m sepanjang sisi belakang pekarangan;
rumah besar, 5 m sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan bagian belakang;
rumah sedang, 4 m sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan bagian belakang;
rumah kecil, 3 m sepanjang sepertiga sisi lebar perpetakan bagian belakang.
Pada bangunan rumah tinggal renggang dengan bentuk perpetakan yang tidak teratur atau perpetakannya belum diatur, maka jarak bebas bangunan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
Untuk pekarangan yang belum memenuhi perpetakan rencana kota, maka jarak bebas bangunan disesuaikan dengan ketentuan pada ayat (1) dan atau ayat (2) Pasal ini.

Pasal 78
Pada bangunan rumah tinggal renggang salah satu sisi samping bangunan diperkenankan dibangun rapat untuk penggunaan garasi, dengan tetap memperhatikan keserasian lingkungan.
Untuk pencahayaan dan penghawaan pada bagian belakang ruang garasi diharuskan ada ruang terbuka dengan luas minimal 4 m2.

Pasal 79
Pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping, sedang jarak bebas belakang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b.5.
Panjang bangunan rapat maksimal 60 m, baik untuk rumah tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, maupun bangunan bukan rumah tinggal.

Pasal 80
Pada bangunan rapat setiap kelipatan maksimal 15 m ke arah dalam, harus disediakan ruangan terbuka untuk penghawaan dan pencahayaan alami dengan luas sekurang-kurangnya 6 m2, dan tetap memenuhi KDB yang berlaku.
Pasal 81
Pada bangunan industri dan gudang dengan tinggi tapak maksimal 6 m, ditetapkan jarak bebas samping sepanjang sisi samping kiri dan kanan pekarangan minimal 3 m, serta jarak bebas belakang sepanjang sisi belakang pekarangan minimal 5 m dengan memperhatikan KDM dan KLB yang ditetapkan dalam rencana kota.
Tinggi tapak bangunan industri dan gudang yang lebih tinggi dari 6 m, ditetapkan jarak bebasnya sesuai dengan Pasal 75.

Pasal 82
Jarak bebas antara dua bangunan dalam suatu tapak diatur sebagai berikut:
dalam hal kedua-duanya memiliki bidang bukaan yang saling berhadapan, maka jarak antara dinding atau bidang tersebut minimal dua kali jarak bebas yang ditetapkan;
dalam hal salah satu dinding yang berhadapan merupakan dinding tembok tertutup dan yang lain merupakan bidang terbuka an atau berlubang, maka jarak antara dinding tersebut minimal satu kali jarak bebas yang ditetapkan;
dalam hal kedua-duanya memiliki bidang tertutup yang saling berhadapan, maka jarak dinding terluar minimal setengah kali jarak bebas yang ditetapkan.

Pasal 83
Dalam hal ini jarak antara GSB dan GSJ kurang dari jarak bebas yang ditetapkan, maka jarak bidang tampak terluar dengan GSJ pada lantai kelima atau lebih, minimal sama dengan jarak bebas yang ditetapkan.
Pasal 84
Pada dinding terluar lantai dua atau lebih tidak boleh dibuat jendela kecuali bangunan tersebut mempunyai jarak bebas
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.

Dalam hal dinding terluar bangunan rumah tinggal tidak memenuhi jarak bebas yang ditetapan, dibolehkan membuat bikaan penghawaan atau pengcahayaan pada ketinggian 1,8 m dari permukaan lantai bersangkutan atau bukaan penuh apabila dinding¬dinding batas pekarangan yang berhadapan dengan bukaan tersebut dibuat setinggi minimal 1,8 m di atas permukaan lantai tingkat dan tidak melebihi 7 m dari permukaan tanah pekarangan.
Pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam bentuk apapun.

Pasal 85
? Untuk mendirikan bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau memproduksi bahan peledak dan bahan-
bahan lain yang sifatnya mudah meledak, dapat diberikan izin apabila:

lokasi bangunan terletak di luar lingkungan perumahan atau jarak minimal 50 m dari jalan umum, jalan kereta api, dan bangunan lain di sekitarnya;
lokasi bangunan seluruhnya dikelilingi pagar pengaman yang kokoh tinggi minimal 2,5 m dimana ruang terbuka pada pintu depan harus ditutup dengan pintu yang kuat dengan diberi peringatan DILARANG MASUK;
bangunan yang didirikan tersebut di atas harus terletak pada jarak minimal 10 m dari batas-batas pekarangan dan 10 m dari bangunan lainnya;
bagian dinding yang terlemah dari bangunan tersebut diarahkan ke daerah yang aman.
Bangunan yang menurut fungsinya menggunakan, menyimpan atau memproduksi bahan radio aktif, racun, mudah terbakar atau bahan-bahan lain yang berbahaya, harus dapat menjamin keamanan, keselamatan, serta kesehatan penghuni dan lingkungannya.

Pasal 86
? Perhitungan KDB dan KLB ditentukan sebagai berikut:
perhitungan luas lantai adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan sampai batas dinding terluar,
luas lantai ruangan beratap yang mempunyai dinding lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut, dihitung penuh 100%,
? luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau mempunyai dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai ruang,
dihitung 50% selama tidak melebihi 10% dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan; ? overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya tersebut dianggap sebagai luas lantai denah;
luas lantai ruangan yang mempunyai tinggi dinding lebih dari 1,20 m diatas lantai ruangan dihitung 50% selama tidak melebihi 10% dengan KDB yang ditetapkan sedangkan luas lantai ruangan selebihnya dihitung 100%;
teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai teras, tidak diperhitungkan;
dalam perhitungan KLB luas lantai di bawah tanah diperhitungkan seperti luas lantai di atas tanah;
luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan dalam perhitungan KLB asal tidak melebihi 50% dari KLB yang ditetapkan, selebihnya diperhitungkan 50% terhadap KLB;
lantai bangunan parkir diperkenankan mencapai 150% dari KLB yang ditetapkan;
ramp dan tangga terbuka dihitung 50% selama tidak melebihi 10% dari luas lantai dasar yang diperkenankan.
Dalam hal perhitungkan KDB dan KLB, luas tapak yang diperhitungkan adalah yang dibelakang GSJ.
Batas perhitungan luas ruang bawah tanah (basement) ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 87
Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang dan arsitektur bangunannya.
Dalam hal perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m,
maka ketinggian bangunan dianggap sebagai dua lantai.

Mezanine yang luasnya melebihi 50% dari luas lantai dasar dianggap sebagai lantai penuh.
Terhadap bangunan tempat ibadah, gedung pertemuan, gedung pertunjukan, gedung sekolah, bangunan monumental, gedung olahraga, bangunan serba guna dan bangunan sejenis lainnya tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini.

Pasal 88
Pada bangunan rumah tinggal, tinggi puncak atap bangunan maksimal 12 m diukur secara vertikal dari permukaan tanah
pekarangan, atau dari permukaan lantai dasar dalam hal permukaan tanah tidak teratur.

Gubernur Kepala Daerah menetapkan kekecualian dari ketentuan pada ayat (1) Pasal ini bagi bangunan-bangunan yang karena
sifat atau fungsinya, terdapat detail atau ornamen tertentu.


Pasal 89
Tinggi lantai dasar suatu bangunan diperkenankan mencapai maksimal 1,20 m diatas tinggi rata-rata tanah pekarangan atau tinggi rata-rata jalan, dengan memperhatikan keserasian lingkungan.
Apabila tinggi tanah pekarangan berada dibawah titik ketinggian (peil) bebas banjir atau terdapat kemiringan yang curam atau perbedaan tinggi yang besar pada tanah asli suatu perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 90
Pada bangunan rumah tinggal kopel, apabila terdapat perubahan atau penambahan bangunan harus tetap diperhatikan kaidah-kaidah arsitektur bangunan kopel.
Pasal 91
Tinggi tampak rumah tinggal tidak boleh melebihi ukuran jarak antara kaki bangunan yang akan didirikan sampai GSB yang berseberangan dan maksimal 9 m.
Tinggi tampak bangunan rumah susun diatur sesuai dengan pola ketinggian bangunan.

Pasal 92
Pada bangunan yang menggunakan bahan kaca pantul pada tampak bangunan, sinar yang dipantulkan tidak boleh melebihi 24% dengan memperhatikan tata letak dan orientasi bangunan terhadap matahari.
Pasal 93
Pada cara membangun rapat:
bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan;
struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurang-kurangnya 10 cm dari batas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah tinggal;
perbaikan atau perombakan bangunan yang semula menggunakan bangunan dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya, disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri di samping dinding batas terdahulu.

Pasal 94
Setiap bangunan bukan rumah tinggal diwajibkan menyediakan tempat parkir kendaraan sesuai dengan jumlah kebutuhan.
Penyediaan parkir di pekarangan tida boleh mengurangi daerah penghijauan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Standar jumlah kebutuhan parkir menurut jenis bangunan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 95
Tinggi pagar batas pekarangan sepanjang pekarangan samping dan belakang untuk bangunan renggang maksimal 3 m di atas permukaan tanah pekarangan dan pabila pagar tersebut merupakan dinding bangunan rumah tinggal bertingkat atau berfungsi sebagai pembatas pandangan, maka tinggi tembok maksimal 7 m dari permukaan tanah pekarangan.
Tinggi pada GSJ dan antar GSJ dengan GSB pada bangunan rumah tinggal maksimal 1,50 m dia tas permukaan tanah, dan untuk bangunan bukan rumah tinggal termasuk untuk bangunan industri maksimal 2 m di atas permukaan tanah pekarangan.
Pagar pada GSJ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini, harus tembus pandang, dengan bagian bawahnya dapat tidak tembus pandang maksimal setinggi 1 m di atas permukaan tanah pekarangan.
Untuk bangunan-bangunan tertentu Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan lain.

Pasal 96
Pintu pagar pekarangan dalam keadaan terbuka tidak boleh melebihi GSJ.
Letak pintu pekarangan untuk kendaraan bermotor roda empat pada persil sudut, minimal 8 m untuk bangunan rumah tinggal dan 20 m untuk bangunan bukan rumah tinggal dihitung dari titik belok tikungan.
Bagi persil kecil yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (2) Pasal ini, letak pintu pagar kendaraan bermotor roda empat adalah pada salah satu ujung batas pekarangan.

Paragraf 3
Ruangan Dalam Bangunan
Pasal 97

? Bangunan tempat tinggal minimal memiliki ruang-ruang fungsi utama yang terdiri dari ruang penggunaan pribadi, ruang bersama dan ruang pelayanan.
? Ruang penunjang dapat ditambahkan, dengan tujuan memenuhi kebutuhan kegiatan penghuni sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama hunian.
Pasal 98
Perubahan fungsi dan penggunaan ruangan suatu bangunan atau bagian bangunan dapat diizinkan, apabila masih memenuhi ketentuan penggunaan jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan serta penghuninya.
Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan, perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya fungsi dan atau penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana jalan ke luar.

Pasal 99
Suatu bangunan gudang minimal harus dilengkapi dengan kamar mandi dan kakus serta ruang kebutuhan karyawan.
Suatu bangunan pabrik minimal harus dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan kakus, ruang ganti pakaian karyawan dan tempat penyimpanan barang, mushola, kantin atau ruang makan dan atau ruang istirahat serta ruang pelayanan kesehatan secara memadai.
Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) Pasal ini, untuk pria dan wanita harus terpisah.
Jumlah kebutuhan fasilitas penunjang yang harus disediakan pada setiap jenis penggunaan bangunan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 100
Setiap ruang dalam harus menggunakan pencahayaan dan penghawaan lami, yang dilengkapi dengan satu atau lebih jendela atau pintu yang dapat dibuka, dan langsung berbatasan dengan udara luar, yang persyaratannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
Pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, dibolehkan untuk bangunan bukan hunian apabila menggunakan sistem pencahayaan dan penghawaan buatan.

Pasal 101
Ruang rongga atap hanya dapat diizinkan apabila penggunaannya tidak menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan dan lingkungan.
Ruang rongga untuk rumah tinggal harus mempunyai penghawaan dan pencahayaan alami yang memadai.
Ruang rongga atap dilarang digunakan sebagai dapur atau kegiatan yang mengandung bahaya api.

Pasal 102
Setiap penggunaan ruang rongga atap yang luasnya tidak lebih dari 50% dari luas lantai di bawahnya, tidak dianggap sebagai penambahan tingkat bangunan.
Setiap bukaan pada ruang atap, tidak boleh mengubah sifatnyadan karakter arsitektur bangunannya.

Pasal 103
Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap atau gas, harus disediakan lobang hawa dan atau cerobong hawa secukupnya kecuali menggunakan alat bantu mekanis.
Cerobong asap dan atau gas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, harus memenuhi ketentuan tentang pencegahan kebakaran.

Paragraf 4
Unsur dan Perlengkapan Bangunan
Pasal 104

Lantai dan dinding yang memisahkan ruang dengan penggunaan yang berbeda dalam suatu bangunan, harus memenuhi persyaratan ketahanan api sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Ruang yang penggunaannya menimbulkan kebisingan, maka lantai dan dinding pemisahan harus kedap suara.
Ruang pada daerah-daerah basah, harus dipisahkan dengan dinding kedap air dan dilapisi dengan bahan yang mudah dibersihkan.

Pasal 105
Dilarang membuat lubang pada lantai dan dinding yang berfungsi sebagai penahan api, kecuali dilengkapi alat penutup yang memenuhi syarat ketahanan api.
Pasal 106
Dinding dan lantai yang digunakan sebagai pelindung radiasi pada ruangan sinar x, ruang radio aktif dan ruang sejenis, harus memenuhi persyaratan yang berlaku.
Pasal 107
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan ketentuan persyaratan tentang peralatan dan perlengkapan bangunan bagi penderita cacat.
Pasal 108
Bangunan yang karena sifat penggunaannya dan atau mempunyai ketinggian lebih dari 4 lantai harus dilengkapi dengan sistem transportasi vertikal (lift).
Lift yang disediakan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, minimal satu diantaranya harus berfungsi sebagai lift kebakaran.

Pasal 109
Penggunaan eskalator menerus hanya dapat diperkenankan untuk menghubungkan dari lantai ke lantai sampai dengan maksimal 4 lantai.
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan lain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, apabila segi keamanan dan keselamatan dapat dipertanggungjawabkan.
Setiap pemasangan eskalator harus dilengkapi dengan alat pengaman serta mencegah bahaya menjalarnya api dan asap pada kebakaran, kecuali eskalator sebagai penghubung utama dari lantai dasar ke lantai kedua atau dengan lantai mezanine pada tingkat yang sama.
Pada perletakan eskalator terhadap unsur bangunan lainnya harus terdapat ruangan kosong minimal 20 cm.

Pasal 110
Setiap bangunan bertingkat harus mempunyai sistem dan atau peralatan bagi pemeliharaan dan perawatan bangunan yang tidak mengganggu dan membahayakan lingkungan serta aman untuk keselamatan pekerja.
Pasal 111
Lebar, jumlah dan lokasi sarana jalan keluar dalam bangunan, harus memenuhi persyaratan bagi keselamatan jiwa manusia, dan tidak digunakan untuk berfungsi atau kegiatan lain.
Gubernur Kepala Daerah menetapkan lebih lanjut persyaratan teknis tentang sarana jalan keluar.

Pasal 112
Setiap tangga kedap asap yang berada di luar bangunan, harus dapat dicapai melalui ruang tunggu, balkon atau teras terbuka dengan luas minimal 10 m2 dan harus dilengkapi dengan dinding pengaman pada setiap sisi dengan tinggi minimal 1,20m.
Setiap tangga kedap asap di luar bangunan dapat mempunyai lobi yang luas permukaan lantai lobi minimal 50% dari luas
penampang melintang tangga.


Pasal 113
Setiap tangga kebakaran tertutup pada bangunan 5 lantai atau lebih, harus dapat melayani semua lantai mulai dari lantai bawah, kecuali
ruang bawah tanah (basement) sampai lantai teratas harus dibuat tanpa bukaan (opening) kecuali pintu masuk tunggal pada tiap lantai dan pintu keluar pada lantai yang berhubungan langsung dengan jalan, pekarangan atau tempat terbuka.
Pasal 114
Setiap ruang bawah tanah (basement) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
ruang bawah tanah (basement) harus dilengkapi dengan minimal dua buah tangga yang menuju ke tingkat permukaan tanah dan apabila ruang tersebut dipakai untuk umum, maka satu diantaranya harus langsung berhubungan dengan jalan, pekarangan atau lapangan terbuka;
setiap pekarangan atau lapangan terbuka yang berhubungan dengan tangga sebagaimana dimaksud pada huruf a. Pasal ini, harus langsung menuju jalan umum atau jalan keluar;
apabila tangga dari lantai ruang bawah tanah (basement) dan tangga dari lantai tingkat bertemu pada suatu sarana jalan keluar yang sama, maka harus diberikan pemisah dan tanda petunjuk jalan ke luar yang jelas.

Pasal 115
Dilarang menggunakan tangga melingkar (tangga spiral) sebagai tangga kebakaran.
Tangga kebakaran dan bordes harus memiliki lebar minimal 1,20 m dan tidak boleh menjepit ke arah bawah.
Tangga kebakaran harus dilengkapi pegangan (hand rail) yang kuat setinggi 1,10 m dan mempunyai lebar injakan anak tangga minimal 28 cm dan tinggi maksimal anak tangga 20 cm.
Tangga kebakaran terbuka yang terletak diluar bangunan harus berjarak minimal 1 m dari bukaan dinding yang berdekatan dengan tangga kebakaran tersebut.
Jarak pencapaian ke tangga kebakaran dari setiap titik dalam ruang efektif, maksimal 25 m apabila tidak dilengkapi dengan spinkler dan maksimal 40 m apabila dilengkapi dengan spinkler.

Pasal 116
Jarak antara landasan tangga (bordes) sampai landasan berikutnya pada suatu tangga, tidak boleh lebih dari 3,60 m yang diukur secara vertikal.
Setiap tangga harus mempunyai ruang bebas vertikal (head room) tidak kurang dari 2 m yang diukur dari lantai injakan sampai pada ambang bawah struktur di atasnya.
Jumlah anak tangga dari lantai sampai bordes atau bordes ke bordes minimal 3 buah dan maksimal 18 buah.

Pasal 117
Setiap tangga untuk mencapai ketinggian 60 cm ke atas harus menggunakan pegangan tangga.
Setiap sisi tangga yang terbuka harus menggunakan pegangan tangga.
Apabila pada kedua sisi tangga terdapat dinding dari ruang lain tangga dimaksud cukup menggunakan satu pegangan tangga.
Lebar tangga pada rumah tinggal minimal 80 cm sedang untuk bangunan lainnya minimal 1 m.
? Apabila lebar tangga melebihi 1,80 cm, maka harus ditambah pegangan tangga pada setiap jarak minimal 1 m atau maksimal 1,80
m.
Untuk tangga pada rumah tinggal, lebar injakan minimal 22,5 cm dan tinggi anak tangga maksimal 20 cm.

Pasal 118
Tangga melingkar dapat digunakan pada rumah tinggal dan apabila digunakan sebagai jalan keluar maka lantai yang dilayani maksimal 36 m2.
Tangga tegak (ladder) hanya dapat digunakan sebagai sarana pencapaian ke atas atau ke bawah untuk keperluan pemeliharaan dan perawatan.

Pasal 119
Persyaratan lebar ramp ditetapkan sesuai dengan lebar tangga.
Kemiringan ramp untuk sarana jalan keluar tidak boleh lebih dari 1 berbanding 12, dan untuk penggunaan lain dapat lebih curam dengan perbandingan 1 berbanding 8.
apabila panjang ramp melebihi 15 m, harus disediakan satu buah landasan (bordes) dengan panjang 3 m pada setiap jarak maksimal 15 m.
Permukaan lantai ramp harus diberi lapisan kasar atau bahan anti slip.

Pasal 120
Lebar koridor bangunan bukan tempat tinggal minimal 1,20 m.
Ketinggian bebas pada koridor minimal 2,20 m yang diukur dari langit-langit ke lantai.
Koridor harus dilengkapi tanda petunjuk yang jelas ke arah sarana jalan keluar.
Lebar koridor yang berfungsi sebagai sarana jalan keluar minimal 1,80 m.

Pasal 121
Ruang utilitas di atas atap (penthouse), hanya dapat dibangun apabila digunakan sebagai ruangan untuk melindungi alat-alat, mekanikal, elektrikal, tangki air, cerobong (shaft) dan fungsi lain sebagai ruang pelengkap bangunan, dengan ketinggian ruangan tidak boleh melebihi 2,40 m diukur secara vertikal dari pelat atap bangunan, kecuali untuk ruang mesin lift atau ruang keperluan teknis lainnya diperkenankan lebih, sesuai dengan keperluan.
Apabila luas lantai melebihi 50% dari luas lantai di bawahnya maka ruang utilitas tersebut diperhitungkan sebagai penambahan tingkat.

Pasal 122
Gubernur Kepala daerah mewajibkan pada bangunan tertentu untuk menyediakan landasan helikopter (helipad) di atas pelat atas.
Atap bangunan yang digunakan sebagai landasan helikopter (helipad) harus mempunyai luas landasan helikopter (helipad) 7 m kali 7 m, dengan ruang bebas di sekeliling landasan rata-rata 5 m, atau ditentukan lain oleh instansi berwenang.
Daerah landasan helikopter (helipad) dan sarana jalan keluar harus bebas dari cairan yang mudah terbakar.
Landasan helikopter (helipad) di atas atap dapat dicapai dengan tangga khusus dari lantai di bawahnya.
Penggunaan landasan helikopter (helipad), harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.

Pasal 123
Bangunan umum yang melebihi ketinggian 4 lantai harus menyediakan cerobong (shaft) untuk elektrikal, pipa-pipa saluran air bersih dan kotor, saluran telepon dan saluran surat (mailcut) sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Bangunan tempat tinggal yang melebihi ketinggian 4 lantai selain persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) Pasal ini, perlu dilengkapi juga dengan cerobong sampah, kecuali apabila menggunakan cara lain atas persetujuan Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 124
Bangunan parkir yang menggunakan ramp spiral, diperkenankan maksimal 5 lantai dan atau kapasitas penampungan sebanyak 500 sampai dengan 600 mobil, kecuali apabila menggunakan ramp lurus.
Kelonggaran ketentuan ayat (1) Pasal ini, dapat diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah dengan mempertimbangkan kepadatan/ intensitas kendaraan setempat serta keserasian bangunan.
Dalam menghitung kapasitas bangunan parkir ditetapkan luas parkir bruto minimal 25 m2/mobil.
Tinggi minimal ruang bebas struktur (headroom) adalah 2,25 m.
Setiap lantai ruang parkir yang berbatasan dengan ruang luar harus diberi dinding pengaman (parapet) setinggi minimal 90 cm dari permukaan lantai.
Setiap lantai ruang parkir harus memiliki sarana transportasi dan sirkulasi vertikal untuk orang.
Pada bangunan parkir harus disediakan sarana penyelamatan terhadap bahaya kebakaran.

Pasal 125
Kemiringan ramp lurus bagi jalan kendaraan pada bangunan parkir maksimal 1 berbanding 7.
apabila lantai parkir mempunyai sudut kemiringan, maka sudut kemiringan tersebut maksimal 1 berbanding 20.

Pasal 126
Pada ramp lurus jalan satu arah pada bangunan parkir, lebar jalan minimal 3 m dengan ruang bebas struktur di kanan kiri minimal 60 cm.
Pasal 127
Pada ramp melingkar jalan satu arah, lebar jalan minimal 3,65 m dan jalan dua arah, lebar jalan minimal 7 m dengan pembatasan jalan lebar 50 cm, tinggi minimal 10 cm.
Jari-jari tengah ramp melingkar minimal 9 m dihitung dari as jalan terdekat.
Setiap jalan pada ramp melingkar harus mempunyai ruang bebas 60 cm terhadap struktur bangunan.

Paragraf 5
Bangun-bangunan dan Pekarangan
Pasal 128
Setiap bangun-bangunan baik pada bangunan atau pekarangan tidak boleh menggunggu arsitektur bangunan dan lingkungan.
Ketentuan lebih lanjut tentang bangun-bangunan sebagaimana tercantum dalam ayat (1) Pasal ini, ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 129
Curah air hujan yang langsung dari atap atau pipa talang bangunan, tidak boleh jatuh keluar batas pekarangan, dan harus dialirkan ke sumur resapan pada lahan bangunan.
Ketentuan teknis tentang sumur resapan sebagaimana tercantum pada ayat (1) Pasal ini, ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Bagian Ketiga
Persyaratan Arsitektur
Pasal 130

Persyaratan teknis atau ketentuan teknis bangunan dari ketentuan arsitektur lingkungan dan arsitektur bangunan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
Bagian Keempat
Ketentuan Struktur Bangunan
Paragraf 1
Dasar Perencanaan Struktur Bangunan Pasal 131

? Perencanaan dan perhitungan struktur bangunan mencakup:
konsep dasar;
penentuan data pokok;
analisis struktur terhadap beban vertikal;
analisis struktur terhadap beban gempa, angin dan beban khusus;
analisis bagian-bagian struktur pokok dan perlengkapan;
pedimensian bagian-bagian struktur pokok dan perlengkapan;
analisis dan pedimensian pondasi yang didasarkan atas hasil penyelidikan tanah dan rekomendasi sistem pondasinya.
Gubernur Kepala Daerah dapat menetapkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana pada ayat (1) Pasal ini, untuk rumah tinggal, bangunan umum dan bangunan lain yang strukturnya bersifat sederhana.

Pasal 132
Perencanaan struktur tahan gempa harus mengikuti peraturan perencanaan tahan gempa untuk bangunan yang berlaku di indonesia.
Analisis struktur terhadap beban gempa untuk bangunan dengan ketinggian maksimal 40 m dan atau 10 lantai dapat digunakan dengan analisis statis dan untuk bangunan ketinggian lebih dari 40 m dan atau 10 lantai harus dilengkapi dengan analisis dinamis.

Pasal 133
Apabila ketentuan perencanaan struktur bangunan belum diatur dalam Peraturan Daerah ini dapat digunakan pedoman standar teknis atau ketentuan lainnya yang berlaku umum di Indonesia.
Apabila dalam perencanaan struktur terdapat ketentuan-ketentuan yang belum dan atau tidak tercakup pada ayat (1) Pasal ini, maka dapat digunakan pedoman, standar ketentuan atau peraturan atau peraturan lainnya dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan Gubernur Kepala Daerah.

Paragraf 2
Pembebanan
Pasal 134

Analisis struktur bangunan harus direncanakan terhadap beban tetap, beban sementara dan beban khusus.
Analisis struktur bangunan harus direncanakan terhadap kombinasi pembebanan yang paling berbahaya yang mungkin terjadi.
? Kombinasi pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini adalah:
pembebanan tetap yaitu beban mati ditambah beban hidup;
pembebanan sementara yaitu beban mati ditambah beban hidup, ditambah beban gempa atau angin.
pembebanan khusus yaitu beban tetap ditambah beban khusus antara lain selisih suhu atau penurunan pondasi atau susut atau rangkak atau gaya rem atau gaya sentrifugal atau gaya dinamik atau pengaruh-pengaruh khusus lainnya.

Pasal 135
Pada perencanaan balok induk dan portal sebagai pemikul beban suatu bangunan, untuk pembebanan tetap maupun pembebanan sementara akibat gempa, beban hidupnya dapat direduksi dengan mengalihkan koefisien reduksi sebagaimana tercantum dalam tabel II.1 lampiran II Peraturan Daerah ini.
Pada perencanaan unsur-unsur struktur vertikal seperti kolom, dinding dan pondasi yang memikul lantai tingkat, beban hidup kumulatif yang terbagi rata dari latai-lantai tingkat dapat dikalikan dengan koefisien reduksi sesuai jumlah lantai yang dipikul sebagaimana tercantum dalam tabel II.2 lampiran II Peraturan Daerah ini, kecuali untuk lantai gudang, ruang arsip, perpustakaan dan ruang-ruang penyimpanan lainnya.

Pasal 136
Penentuan beban mati dari bahan bangunan dan komponen bangunan adalah sebagaimana tercantum dalam tabel II.3 lampiran II Peraturan Daerah ini.
Penentuan beban hidup pada lantai bangunan adalah sebagaimana tercantum dalam tabel II.4 lampiran Peraturan Daerah ini.

Pasal 137
Beban hidup yang bersifat dinamis harus dikalikan suatu koefisien kejut yang besarnya sesuai spesifikasi beban minimal sebesar 1,15.
Beban hidup pada atap gedung tinggi yang dilengkapi dengan landasan helikopter atau helipad, harus diambil sebesar beban yang berasal dari helikopter sewaktu mendarat dan mengudara, diluar landasan diambil minimal sebesar 200 kg/m2.

Pasal 138
Beban angin yang bekerja pada bangunan atau bagian bangunan harus ditentukan dengan anggapan adanya tekanan negatif yang bekerja tegak lurus pada bidang-bidang yang ditinjau.
Besarnya tekanan positif dan tekanan negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, harus mengikuti peraturan
pembebanan untuk bangunan yang berlaku di Indonesia.


Paragraf 3
Struktur Atas
Pasal 139
Struktur atas harus direncanakan dengan memperhitungkan kombinasi beban-beban yang bekerja dan meneruskan ke pondasi tanpa menimbulkan lendutan, perubahan bentuk yang dapat mengganggu kestabilan atau menyebabkan kerusakan pada sebagian atau seluruh stuktur bangunan tersebut.
Pasal 140
Analisis struktur bangunan dapat dilakukan dengan 2 atau 3 dimensi sesuai konsep dasarnya.
Pada struktur bangunan tertentu apabila dianggap perlu, analisis struktur bangunan harus dilakukan dengan cara 3 dimensi dan atau diadakan percobaan pembebanan sesuai persyaratan teknis dan prosedur yang berlaku.

Pasal 141
Apabila analisis struktur bangunan menggunakan komputer, maka program komputer tersebut harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
analisis struktur bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, harus mencantumkan konsep dasar, data masukan dan hasil akhir.
Apabila akhir dari program komputer tersebut diragukan maka analisis struktur bangunan tersebut harus dibuktikan dengan tata cara yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

Pasal 142
Jarak minimal antara dua bangunan yang berdekatan dan atau delatasi harus dihitung berdasarkan peraturan perencanaan tahan gempa untuk bangunan yang berlaku di Indonesia.
Terhadap bangunan yang merupakan satu kesatuan (monolit) dengan panjang lebih dari 50 m konstruksinya harus diperhitungkan terhadap perubahan suhu.
Apabila diperlukan siar pemisah, maka jarak siar tersebut harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini.

Pasal 143
Dalam perencanaan konstruksi untuk penambahan tingkat bangunan baik sebagian maupun keseluruhan, perencanaan konstruksi harus didasarkan data keadaan lapangan dan diperiksa kekuatannya terhadap struktur utama secara keseluruhan.
Pasal 144
Dalam perencanaan rehabilitasi atau renovasi yang mempengaruhi kekuatan strukturnya ditinjau kembali secara keseluruhan berdasarkan persyaratan struktur yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Apabila kekuatan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, tidak memenuhi ketentuan, maka terhadap struktur bangunannya harus direncanakan perkuatan dan atau penyesuaian.

Paragraf 4
Struktur Bawah
Pasal 145
Rencana pondasi harus diperhitungkan terhadap semua gaya, baik dari struktur atas maupun beban lain yang dilimpahkan pada sistem pondasi tersebut dan tidak melebihi daya dukung tanah serta penurunan yang diizinkan.
Persyaratan penurunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, terdiri dari persyaratan perbedaan penurunan dan
persyaratan penurunan total sebagaimana dimaksud dalam tabel II.5 dan tabel II.6 lampiran II Peraturan Daerah ini.

Rencana pondasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, harus diperhitungkan agar tidak merusak stabilitas tanah dan bangunan sekitarnya.
Apabila berdasarkan penelitian kondisi lapangan, rencana pondasi tersebut pada ayat (3) Pasal ini, berpengaruh terhadap tanah dan atau bangunan sekitarnya, maka harus dibuat rencana pengamanan terlebih dahulu.

Pasal 146
Perencanaan basement yang diperkirakan dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada bangunan dan lingkungan sekitarnya harus dilengkapi perencanaan pengamanannya.
Pada bangunan dengan basement di mana dasar galian lebih rendah dari muka air tanah, harus dilengkapi perencanaan
penurunan muka air tanah (dewatering).

Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini ditentukan oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

Pasal 147
Perencanaan sambungan pada pondasi tiang pancang harus mendapat persetujuan dari Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
Perencanaan pondasi tiang baja harus memperhitungkan faktor korosi sesuai dengan standar berlaku.
Pada perencanaan pondasi, besarnya lendutan di kepala tiang akibat gaya horizontal maksimal 1,27 cm (1/2 inci) kecuali ditetapkan lain oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

Pasal 148
Perencanaan dan penentuan sistem pondasi bangunan, harus didasarkan atas analisis hasil penyelidikan tanah atau kondisi tanah pada lokasi di mana bangunan tersebut akan dibangun, kecuali ditetapkan lain oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
? Penyelidikan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini harus memenuhi persyaratan:
dilaksanakan di bawah tanggung jawab ahli bidang mekanika tanah yang diakui oleh Gubernur Kepala Daerah;
penyelidikan tanah harus mencakup daya dukung tanah yang diizinkan serta rekomendasi sistem pondasi.
Tata cara dan persyaratan pekerjaan penyelidikan tanah ditetapkan Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

Pasal 149
Apabila dianggap perlu, pada perencanaan pondasi dalam dan struktur penahan tanah harus dilakukan percobaan pembebanan sebesar 200% dari beban kerja rencana, baik untuk aksial tekan, aksial tarik dan atau beban lateral.
? Jumlah tiang pondasi untuk percobaan pembebanan aksial tekan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
untuk pondasi tiang bor (bored pile) minimal satu tiang percobaan untuk setiap 75 tiang yang ukurannya sama;
untuk pondasi tiang pancang dan yang sejenis minimal satu tiang percobaan untuk setiap 100 tiang yang ukurannya sama.
Terhadap kondisi tanah dan beban kerja rencana tertentu jumlah tiang pondasi untuk percobaan pembebanan aksial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini, dapat ditetapkan lain oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
Percobaan pembebanan lateral harus dilaksanakan (cut of level) dengan lendutan maksimal sebesar 1,27 cm (1/2 inci).
Tata cara dan persyaratan percobaan pembebanan selanjutnya ditetapkan oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

Pasal 150
Pada perencanaan pondasi dengan sistem yang baru atau belum lazim digunakan, maka kemampuan sistem tersebut dalam menerima beban-beban struktur diatasnya serta beban-beban lainnya harus dibuktikan dengan cara yang disetuji oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
Bagian Kelima
Keamanan Bangunan Terhadap Bahaya Kebakaran

Paragraf 1

Persyaratan Keamanan Ruang

Pasal 151

Setiap bangunan harus dilengkapi peralatan pencegahan terhadap bahaya kebakaran serta penyelamatan jiwa manusia dan lingkungannya, sesuai dengan jenis dan penggunaan bangunannya.
Setiap fungsi ruang dan atau penggunaan bangunan yang mempunyai resiko bahaya kebakaran tinggi harus diatur
penempatannya sehingga apabila terjadi kebakaran dapat dilokalisir.

ruang lain yang mempunyai resiko kebakaran tinggi pada bangunan harus dibatasi oleh dinding atau lantai kompartemen yang ketahanan apinya minimal 3 jam, dan pada dinding atau lantai kompartemen tersebut tidak boleh terdapat lubang terbuka kecuali yang bukan dilindungi.
Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pasal ini harus dilengkapi dengan pengukur panas dan harus dirawat dan atau diawasi, sehingga suhu dalam ruangan tersebut tidak melebihi batas maksimal yang telah ditentukan.
Setiap ruang instalasi listrik, generator, gas turbin atau instalasi pembangkit tenaga listrik lainnya serta ruangan penyimpanan cairan gas atau bahan yang mudah menguap dan terbakar, harus dilindungi dengan sistem pencegahan kebakaran manual dan atau sistem pemadam otomatis.

Pasal 152
Setiap bangunan sedang dan tinggi harus dilindungi oleh suatu sistem alarm otomatis yang sekurang-kurangnya mempunyai:
lonceng atau sirene dan sumber tenaga batere cadangan;
alat pengindera;

Panel indikator yang dilengkapi dengan:
fasilitas kelompok alarm;
sakelar penghubung dan pemutus arus;
fasilitas pengujian batere dengan volt meter dan ampere meter;

Peralatan bantu lainnya.

Setiap alarm kebakaran yang dipasang pada bangunan, harus selalu siap dan pemasangannya harus sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.
? Ketentuan jenis alat pengindera yang digunakan harus sesuai dengan penggunaan ruang yang akan dilindungi.
Paragraf 2
Persyaratan tahan Api dan
Perlindungan Terhadap Api

Pasal 153

Sarana jalan keluar untuk kebakaran harus diupayakan dan direncanakan bebas asap.
Ruang bawah tanah, ruang tertutup, tangga kebakaran dan atau ruang lain yang sejenis, harus direncanakan bebas asap.



Pasal 154
Klasifikasi bangunan ditentukan menurut tingkat ketahanan struktur utama terhadap api, terdiri dari:
• bangunan kelas A ialah bangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api minimal 3 jam;
• bangunan kelas B ialah bangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api minimal 2 jam;
• bangunan kelas C ialah bangunan yang komponen struktur utamanya harus tahan terhadap api minimal 1/2 jam;
• bangunan kelas D ialah bangunan yang tidak tercakup kedalam kelas A, B, C dan diatur secara khusus.

Pasal 155
Ketahanan api komponen struktur utama pada 4 lantai teratas pada bangunan tinggi, minimal 1 jam, sedang dari lantai 5 sampai dengan lantai 14 dari atas minimal 2 jam dan dari lantai 15 dari atas sampai lantai terbawah minimal 3 jam.
Ketahanan api dinding luar pemikul maupun dinding partisi pada 4 lantai teratas minimal 1 jam dan dari lantai di bawah lantai tersebut sampai lantai terbawah minimal 2 jam.
Ketahanan api dinding luar bukan pemikul yang mempunyai risiko terkena api pada semua lantai minimal 1 jam.
Ketahanan api dinding bukan pemikul pada bagian dalam semua lantai minimal 1/2 jam.

Pasal 156
Pada bangunan tinggi, ketahanan api untuk atap minimal 1/2 jam.
Pada atap bangunan yang digunakan sebagai landasan helikopter, maka ketahanan api atap minimal 1 jam.

Pasal 157
Pada bangunan yang tidak terkena keharusan menggunakan sprinkler, apabila dilengkapi dengan sistem sprinkler, maka ketahanan struktur utama yang harus disyaratkan 3 jam diperkenankan menjadi 2 jam.
Pasal 158
Unsur-unsur interior bangunan gedung yang direncanakan tahan api, harus memenuhi ketentuan sesuai dengan standar tahan api yang berlaku.
Pasal 159
Bagian bangunan, ruang dalam bangunan yang karena fungsinya mempunyai resiko tinggi terhadap bahaya kebakaran, harus merupakan suatu kompartemen terhadap penjalaran api, asap dan gas beracun.
Pasal 160
Setiap bangunan sedang kelas A dan bangunan tinggi kelas B, harus dilindungi dengan suatu sistem sprinkler yang dapat melindungi setiap lantai pada bangunan.

Bangunan rendah kelas A apabila seluruh sisi luarnya dinding masih harus dilindungi dengan sistem sprinkler.

Pasal 161
Setiap bangunan sedang dan tinggi harus dilindungi oleh suatu sistem hidran sesuai dengan persyaratan sebagai berikut:
• pemasangan hidran harus memenuhi ketentuan dan dipasang sedemikian rupa sehingga panjang selang dan pancaran air dapat mencapai dan melindungi seluruh permukaan lantai bangunan.
• setiap pemasangan hidran halaman harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Setiap bangunan harus dilengkapi alat pemadam api ringan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 162
Pada setiap bangunan permanen, bahan penutup atap harus terbuat dari bahan tahan api minimal 1/2 jam.
Pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, hanya diperbolehkan untuk bangunan yang bersifat sementara dan atau diberi lapisan tahan api.

Pasal 163
Pengakhiran dinding kompartemen dengan atap atau lantai di atasnya, harus menerus sampai di bawah permukaan lantai atau atas di atasnya.
Paragraf 3
Persyaratan Terinci Terhadap Penyelamatan

Pasal 164

Lebar dan jumlah pintu keluar pada setiap fungsi ruang, harus diperhitungkan untuk dapat menyelamatkan penghuni ruang dalam waktu yang singkat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sarana jalan keluar untuk kebakaran harus bebas dari segala hambatan serta dilengkapi dengan tanda petunjuk jalan keluar yang harus selalu dalam kondisi baik, mudah dilihat dan dibaca.

Pasal 165
Bangunan atrium dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m ke atas, harus dilengkapi peralatan yang dapat mengeluarkan asap dari dalam bangunan pada saat terjadi kebakaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 166
Kamar instalasi mesin lift kebakaran serta ruang luncur lift kebakaran, harus dilindungi dengan dinding yang tidak mudah terbakar sesuai dengan klasifikasi bangunannya.
Pemisah antara kamar mesin san ruang luncur lift kebakaran harus terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar, dengan bukaan yang hanya diperlukan untuk ventilasi.
Apabila lift kebakaran terletak dalam satu ruang luncur dengan lift lainnya, maka dinding ruang luncur lift harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan ayat (1) dan (2) Pasal ini.

Pasal 167
Pada dapur dan ruang lain yang sejenis yang mengeluarkan uap atau asap atau udara panas, harus dipasang sarana untuk mengeluarkan uap atau asap atau udara panas, dan apabila udara dalam ruangan tersebut mengandung banyak lemak, harus dilengkapi dengan alat penangkap lemak.
Cerobong asap, saluran asap dan pembuangan gas yang mudah terbakar, harus dibuat dari pasangan bata atau bahan lain dengan tingkat keamanan yang sama.
Ruang tungku dan ketel yang berada didalam bangunan, harus dilindungi dengan kontruksi tahan api minimal 3 jam, serta dilengkapi pintu yang dapat menutup sendiri dan dipasang pada sisi dinding luar.
Pintu masuk ke ruang tungku dan ketel tidak boleh dipasang pada tangga lobi, balkon, ruang tunggu atau daerah bebas api.

Pasal 168
Untuk bangunan kelas A dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m ke atas atau bangunan kelas B mulai dengan ketinggian 8 lantai atau 40 M ke atas harus diperhitungkan kemungkinan dipasang instalasi peningkat air (riser).
Pipa peningkat air kering (dry riser) hanya boleh dipasang pada bangunan gedung dengan ketinggian maksimal 40 m, dan di atas ketinggian 40 m harus menggunakan pipa peningkat air basah (wet riser).
Pemasangan pipa peningkat air yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 169
Setiap bangunan sedang dan tinggi harus dilengkapi tangga kebakaran.
Ketentuan teknis mengenai tangga kebakaran ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.

Pasal 170
Eskalator atau ban berjalan yang operasinya berlawanan dengan arah jalan keluar tidak boleh digunakan sebagai sarana jalan keluar dan pada jalan masuk menuju eskalator atau ban berjalan harus diberi tanda petunjuk arah jalan keluar terdekat.
Pasal 171
Bukaan vertikal pada bangunan yang dipergunakan untuk cerobong pipa, cerobong ventilasi, cerobong instalasi listrik harus sepenuhnya tertutup dengan dinding dari bawah sampai atas dan tertutup pada setiap lantai.
Apabila harus diadakan bukaan pada dinding penutup bukaan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, maka bukaan harus dilindungi dengan penutup tahan api minimal sama dengan ketahanan api dinding atau lantai.

Pasal 172
Luas ventilasi asap kendaraan lift maksimal 0,30 m2 dan untuk cerobong lainnya maksimal 0,05 m2.
Ventilasi asap tunggal pada bukaan tegak hanya diizinkan apabila bukaannya menembus atap, dan apabila tidak menembus harus dipasang 2 buah ventilasi asap tunggal yang berujung pada sisi yang berlainan.

Pasal 173
Dinding luar bangunan yang berbatasan dengan garis batas pemilikan tanah harus tahan api minimal 2 jam.
Pada bangunan deret, dinding batas antara bangunan harus menembus atap dengan tinggi minimal 0,50 m dari seluruh
permukaan atap.


Pasal 174
Dinding penyekat ruang sementara, ketahanan apinya harus minimal 1/2 jam.
Dinding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini tidak boleh menerus sampai langit-langit serta tidak boleh mengganggu fungsi sistem instalasi dan perlengkapan bangunan pada ruang tersebut.

Pasal 175
Bahan bangunan yang dapat digunakan untuk elemen bangunan, harus memenuhi persyaratan pengujian sifat ketahanan api dan sifat penjalaran api pada permukaan.
Bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, diklarifikasikan sebagai bahan tahan api (mutu tingkat I), bahan tahan api sedang (mutu tingkat II), bahan penghambat api (mutu tingkat III), bahan penghambat api sedang (mutu tingkat IV), serta bahan mudah terbakar (mutu tingkat V), sesuai dengan tabel III.1 lampiran III Peraturan Daerah ini.

Pasal 176
Bahan bangunan yang mudah dan atau yang mudah menjalarkan api melalui permukaan tanpa perlindungan khusus sesuai tabel III.1 lampiran III Peraturan Daerah ini, tidak boleh dipakai pada tempat-tempat penyelamatan kebakaran, maupun dibagian lainnya dalam bangunan di mana terdapat sumber api.

Penggunaan bahan-bahan yang mudah terbakar dan mudah mengeluarkan asap yang banyak dan beracun harus dibatasi sehingga tidak membahayakan keselamatan umum.

Pasal 177
Tingkat mutu bahan lapis penutup pada ruang efektif serta struktur bangunan, harus memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam tabel III.2 lampiran III Peraturan Daerah ini.
Pasal 178
Persyaratan ketahanan api bagi unsur bangunan dan bahan pelapis berdasarkan jenis dan ketebalan, harus mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam tabel III.3 lampiran III Peraturan Daerah ini.
Pasal 179
Pengumpulan (kolektor) panas matahari yang digunakan sebagai komponen bangunan tidak boleh mengurangi persyaratan tahan api yang ditentukan.
Paragraf 4
Persyaratan Komponen Struktur Bangunan
Pasal 180
Bahan bangunan yang digunakan untuk komponen struktur komponen bangunan harus memenuhi syarat umum sebagaimana tercantum didalam tabel III.4 lampiran III Peraturan Daerah ini.
Bahan bangunan yang tidak termasuk dalam tabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, dapat dipakai setelah dibuktikan dengan hasil pengujian dari instasi yang berwenang.

Pasal 181
Persyaratan umum ketahanan api bagi komponen struktur bangunan berdasarkan ketinggian bangunan harus mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam tabel III.4 lampiran III Peraturan Daerah ini.
Bagian Keenam
Instalasi dan Perlengkapan Bangunan
Paragraf 1
Instalasi Listrik
Pasal 182
Sistem instalasi listrik arus kuat dan penempatannya harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu, dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain serta, diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 183
Beban listrik yang bekerja pada instalasi arus kuat, harus diperhitungkan berdasarkan standar dan atau normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Sumber daya utama bangunan harus menggunakan tenaga listrik dari Perusahaan Listrik Negara.
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini tidak memungkinkan, sumber daya utama dapat menggunakan sistem pembangkit tenaga listrik sendiri, yang penempatannya harus aman dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan, serta harus mengikuti standar dan atau normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Bangunan dan ruang khusus dimana tenaga listriknya tidak boleh putus, harus memiliki pembangkit tenaga cadangan yang dayanya dapat memenuhi kelangsungan pelayanan pada bangunan dan atau ruang khusus tersebut.

Pasal 184
Sistem instalasi listrik pada bangunan tinggi dan bangunan umum harus memiliki sumber daya listrik darurat, yang mampu melayani kelangsungan pelayanan utama pada bangunan apabila terjadi gangguan listri atau terjadi kebakaran.

Pasal 184
Instalasi listrik arus kuat yang dipasang, sebelum dipergunakan harus lebih dahulu diperiksa dan diuji oleh instansi yang yang berwenang.
Pemeliharaan instalasi arus kuat harus dilaksanakan dan diperiksa secara berkala sesuai dengan sifat penggunaan dan keadaan setempat, serta dilaporkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

Pasal 186
Pada ruang panel hubung dan atau ruang panel bagi, harus terdapat ruang yang cukup untuk memudahkan pemeriksaan, perbaikan dan pelayanan, serta diberi ventilasi cukup.
Paragraf 2
Instalasi Penangkal Petir
Pasal 187
Setiap bangunan atau bagian bangunan yang berdasarkan letak, bentuk dan penggunaannya dianggap mudah terkena sambaran petir, harus diberi instalasi penangkal petir serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 188
Suatu instalasi penangkal petir harus dapat melindung semua bagian dari bangunan termasuk juga manusia yang ada di dalamnya, terhadap bahaya sambaran petir.
Pemasangan instalasi penangkal petir pada bangunan, harus memperhatikan arsitektur bangunan, tanpa mengurangi nilai
perlindungan terhadap sambaran petir yang efektif.

Terhadap instalasi penangkal petir harus dilakukan pemeriksaan dan pemeliharaan secara berkala.
Setiap perluasan atau penambahan bangunan instalasi penangkal petir, harus disesuaikan dengan adanya perubahan tersebut.

Pasal 189
Apabila terjadi sambaran pada instalasi penangkal petir, harus dilakukan pemeriksaan dari bagian-bangiannya dan harus segera dilakukan perbaikan terhadap bangunan yang mengalami kerusakan.
Paragraf 3
Instalasi Tata dara Gedung
Pasal 190
Sistem tata udara gedung dan penempatannya harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain, serta diperhitungkan berdasarkan stadar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 191
Udara segar yang dimasukkan ke dalam sistem tata udara gedung, harus sesuai dengan kebutuhan penghuni dalam ruang yang dikondisikan, serta memperhatikan kebersihan udara.
Pasal 192
Sistem ventilasi pada bangunan rumah sakit untuk ruang operasi, ruang steril dan ruang perawatan bagi pasien yang berpenyakit menular, tidak dibenarkan mempergunakan sistem sirkulsi udara yang dapat menyebabkan penularan penyakit kebagian lain bangunan.
Pasal 193
Bangunan atau ruang parkir tertutup harus dilengkapi sistem ventilasi mekanis untuk membuang udara kotor dari dalam, dan
minimal 50% volume udara ruang haris diambil pada ketinggian maksimal 0,60 m di atas lantai.

Ruang parkir pada ruang bawah tanah (basement) yang terdiri dari lebih satu lantai, gas buangan mobil pada setiap lantai tidak boleh mengganggu udara bersih pada lantai lainnya.

Pasal 194
Cerobong (ducting) sistem penutup api tata udara gedung harus dilengkapi dengan penutup api (fire dumper) yang dapat menutup sendiri apabila terjadi kebakaran.
Penutup api (fire dumper) dalam cerobong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, harus mempunyai ketahanan api minimal sama dengan ketahanan api dinding dimana bagian cerobong udara tersebut dipasang.

Paragraf 4
Instalasi Transportasi Dalam Gedung
Pasal 195
Sistem instalasi transportasi dan penempatannya dalam gedung harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain, serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 196
Kapasitas angkut yang dinyatakan dalam izin, harus menjadi kapasitas angkut dari lift yang dimaksud.
Kapasitas angkut lift yang diizinkan, harus tertulis pada sangkar dan dinyatakan dalam jumlah orang yang dapat diangkut.
Kapasitas angkut lift barang yang diizinkan, harus tertulis dalam sangkar dan dinyatakan dalam kg.
Jumlah dan kapasitas lift harus mampu melakukan pelayanan yang optimal untuk sirkulasi vertikal pada bangunan.

Pasal 197
Struktur dan material lift harus selalu dalam keadaan kuat, tidak cacat dan memenuhi syarat-syarat keselamatan dan keamanan.
Pasal 198
Bangunan kamar mesin lift harus kuat dan kedap air serta berventilasi cukup.
Mesin lift dan bagiannya serta alat pengendali lift, harus ditempatkan dalam kamar mesin.
Mesin lift harus dilengkapi dengan rem pengaman yang kuat.
Rem pengaman mesin yang digerakkan dengan tenaga listrik, harus dapat bekerja menghentikan dan membuka lift pada lantai terdekat secara otomatis apabila arus listrik mati serta harus dapat digerakan secara manual.

Pasal 199
Setiap pintu penutup ruang luncur dari lift otomatis maupun tidak otomatis, harus dilengkapi dengan kunci interlock yang bekerja sejalan dengan pengendalian lift.

Kunci interlock sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini harus menjamin:
• sangkar tidak dapat bergerak atau melanjutkan gerakannya kecuali apabila pintu penutup ruang luncur tertutup dan terkunci.
• setiap pintu penutup ruang luncur hanya dapat terbuka apabila sangkar dalam keadaan berhenti dan permukaan lantai sangkar sama rata dengan lantai pemberhentian, atau lantai sangkar berada dalam jarak maksimal 0,20 m dari permukaan lantai pemberhentian.

Pasal 200
Ruang luncur lift harus bersihdan memenuhi syarat untuk kelancaran jalannya sangkar dan bobot imbang.
Di dalam ruang luncur lift dilarang memasang pipa atau peralatan lain yang tidak merupakan bagian dari instalasi lift.
Di bawah bagian ruang luncur (pit) harus terdapat ruang bebas minimal 0,60 m antara lantai bawah ruang dan bagian bawah dari konstruksi sangkar untuk penempatan penyangga (buffer) sangkar dan bobot imbang.
Di bagian atas ruang luncur harus terdapat ruang bebas minimal 0,60 m antara konstruksi sangkar dan langit-langit (plafon) ruang luncur, sewaktu sangkar berada pada batas pemberhentian akhir dibagian atas (top lending).

Pasal 201
Setiap sangkar lift harus dilengkapi dengan rem pengaman mekanis yang dapat mengerem dan memberhentikan sangkar dengan aman apabila terjadi kecepatan lebih atau terjadi goncangan pada tali baja penarik sangkar.
Pasal 202
Setiap lift harus dilengkapi dengan sebuah bandul mekanis (governor) Yang mengatur bekerjanya rem pengaman sangkar.
Setiap lift yang kecepatannya melebihi 60 m per menit bandul mekanis (governor) harus dilengkapi dengan sebuah saklar yang otomatis memutuskan aliran listrik ke mesin sebelum atau pada saat bandul mekanis (governor) bekerja.

Pasal 203
Sangkar dan bobot imbang lift harus berjalan pada rel-rel pengantar yang cukup kuat, untuk menahan tekanan muatan sangkar dan tekanan muatan bobot imbang pada saat lift meluncur dan rem pengaman sangkar bekerja.
Rel pengantar untuk sangkar dan bobot imbang harus terbuat dari baja atau bahan lain yang sejenis.
Rel pengantar lift dengan kecepatan tidak melebihi dari 120 m per menit yang digunakan di tempat yang menyimpan atau mengolah bahan kimia dan atau bahan yang mudah meledak, harus menggunakan rel pengantar yang terbuat dari bahan logam tahan korosi.

Pasal 204
Instansi listrik untuk lift setelah terpasang harus dijaga dan dirawat sehingga aman dalam pemakaiannya.
Sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Daerah ini, pemasangan instalasi listrik untuk lift harus memenuhi
ketentuan yang berlaku.

Semua hantaran listrik harus dipasang dalam pipa atau saluran kabel (duct) kecuali hantaran lemas (fleksible) yang khusus.
Instalasi listrik untuk lift harus dilengkapi dengan pengamanan arus lebih atau sakelar otomatis.
Semua bagian logam dari lift dalam keadaan bekerja normal tidak boleh bertegangan.

Pasal 205
Setiap lift otomatis kecuali lift barang, harus dilengkapi dengan sakelar darurat (emergency stop switch) yang jelas tertulis dan ditempatkan berdekatan dengan sakelar tombol tekan pengendalian di dalam sangkar.
Setiap lift harus dilengkapi dengan sakelar pengaman batas (trvel limit switch) yang dapat menghentikan mesin secara otomatis sebelum sangkar atau bobot imbang mencapai batasan perjalanan akhir, baik arah ke atas maupun arah kebawah.
Setiap lift harus dilengkapi dengan alat pembatas beban lebih (overload limit switch) yang bekerja apabila beban melebihi
kapasitas yang diizinkan dengan memberi tanda peringatan, sehingga lift tidak berjalan.

Lift tarikan langsung (direct drive lift) harus dilengkapi dengan suatu peralatan pengaman yang akan menghentikan motor
penggerak lift secara otomatis, apabila tegang tali kabel baja penarik sangkar menjadi kurang dari keadaan normal.


Pasal 206
Sangkar pada setiap lift harus dilengkapi dengan peralatan tanda bahaya yang dapat dilayani dari dalam sangkar, berupa bel listrik, telepon atau alat-alat lainnya yang dipasang dalam gedung ditempat yang mudah didengar oleh pengawas atau penanggung jawab gedung yang bersangkutan.
Pasal 207
Instalasi lift yang telah selesai dipasang atau yang telah mengalami perubahan teknis, sebelum dioperasikan harus diperiksa dan diuji terlebih dahulu oleh instansi yang berwenang.
Pasal 208
Lift kebakaran dapat berupa lift penumpang biasa atau lift barang yang dapat diatur, sehingga dalam keadaan darurat dapat digunakan secara khusus oleh petugas kebakaran, tanpa terganggu oleh tombol panggil lainnya.
Untuk mengubah lift penumpang atau lift barang menjadi lift kebakaran, harus dengan cara sakelar kebakaran (fire switch) terlebih dahulu.
Kecepatan lift kebakaran minimal harus dapat mencapai ketinggian seluruh bangunan dalam waktu tidak lebih dari 1 menit.
Pintu lift kebakaran harus mempunyai ketahanan api minimal 2 jam.
Lift kebakaran harus dapat berhenti di setiap lantai.
Luas lantai sangkar lift kebakaran minimal 2 m2.
Sumber daya listrik untuk lift kebakaran harus direncanakan dari dua sumber yang berbeda.

Paragraf 5
Instalasi Plambing dan Air Buangan
Pasal 209
Sistem plambing dan air buangan dan penempatannya harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 210
Pada setiap bangunan harus disediakan sistem air bersih dan air buangan guna menyalurkan air bersih ke semua alat plambing dan membuang air limbah dari semua peralatan plambing.
Pasal 211
Perangkap lemak dan minyak harus dipasang pada pipa buangan tempat cuci, lubang drainase lantai, dan alat sanitasi lain yang biasa menyalurkan buangan yang mengandung lemak.
Pemeliharaan perangkap lemak harus dilakukan untuk menjamin bekerjanya alat tersebut dengan baik, dan kotoran yang terkumpul harus dikeluarkan secara berkala.

Pasal 212
Gedung yang mempunyai alat plambing harus dilengkapi dengan sistem drainase, untuk menyalurkan air ke saluran umum, sedang apabila tidak terdapat saluran umum, penyaluran air buangan harus dilakukan atas petunjuk instansi yang berwenang.
Pasal 213
Lubang pembuangan dari alat plambing dan perlengkapan yang digunakan untuk penyimpanan atau pengolahan makanan, minuman, bahan steril atau bahan sejenis lainnya, harus dilengkapi dengan celah udara (ventilasi) yang cukup untuk mencegah kemungkinan adanya pencemaran,
Pasal 214
Sistem drainase harus dilengkapi dengan celah udara (ventilsdi) atau vent yang memungkinkan adanya sirkulasi udara di dalam semua pipa.
Pasal 215
Cairan korosif, asam alkali yang kuat atau bahan kimia kuat lainnya yang dapat merusak pipa drainase, pipa air buangan dan celah udara (ventilasi) atau cairan yang dapat mengalirkan uap beracun, harus dibuang ke dalam saluran tersendiri.
Pasal 216
Sumber air bersih pada bangunan harus diperoleh dari sumber air PAM dan apabila sumber air bukan dari PAM, maka sebelum digunakan harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.
Air bersih yang dialirkan ke alat plambing dan perlengkapan plambing yang dipergunakan untuk umum, memasak, pengolahan, pengalengan atau pembungkusan, pencucian alat makanan dan minuman, alat dapur atau untuk keperluan rumah tangga atau jenis lainnya harus mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang.

Pasal 217
Sistem pembagi air harus direncanakan dan diatur, sehingga dengan tekanan air yang minimal, alat plambing dapat bekerja dengan baik, serta harus dipelihara untuk mencegah kebocoran.
Apabila tekanan dalam jaringan distribusi air minum kota belum memenuhi persyaratan tekanan minimal pada titik pengaliran ke luar, maka dipasang suatu tangki penyediaan air yang direncanakan dan ditempatkan untuk dapat memberikan tekanan minimal yang disyaratkan.

Pasal 218
Tangki persediaan air yang melayani keperluan gedung, hidran kebakaran, dan sistem spinkler harus:
• direncanakan dan dipasang sehingga dapat menyalurkan air dalam volume dan tekanan yang cukup untuk sistem tersebut;
• mempunyai lubang aliran ke luar untuk keperluan gedung pada ketinggian tertentu dari dasar tangki, sehingga persedian minimal yang diperlukan untuk pemadam kebakaran maupun spinkler dapat dipertahankan.

Pasal 219
Pipa untuk mengalirkan air minum ke dalam tangki gravitasi harus berakhir pada ketinggian yang cukup di atas lubang peluap, untuk mendapatkan celah udara yang disyaratkan dan jarak aliran masuk minimal 0,10 m di atas puncak pipa peluap.
Semua tangki persediaan air minum harus dilengkapi dengan pipa pengosong, yang ditempatkan dan diatur sehingga dapat mencegah timbulnya kerusakan akibat pembuangan air dari tamgki.
Tangki gravitasi persediaan air minum maupun tangki persediaan air minum, tidak boleh ditempatkan di bawah pipa pembuangan.

Pasal 220
Bangunan dengan ketinggian 5 lantai atau lebih yang mempunyai panjang pipa pembawa air panas, dari sumber air panas ke alat plambing yang melebihi 30 m, harus dilengkapi dengan sistem sirkulasi penyediaan air panas.
Perlengkapan plambing yang diperlukan untuk memanaskan air atau penyimpanan air panas harus dilengkapi dengan katup pelepas tekanan dan suhu.

Pasal 221
Buangan yang mengandung radio aktif harus diamankan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan cara pembuangannya harus mendapat izin khusus dari instansi yang berwenang.
Paragraf 6
Instalasi Komunikasi Dalam Gedung

Pasal 222

Sistem instalasi komunikasi telepon dan tata suara gedung dan penempatannya harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 223
Saluran masuk sistem telepon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
• tempat pemberhentian ujung kabel harus terang, tidak ada genangan air, aman dan mudah dikerjakan;
• ukuran saluran masuk minimal 1,50 m kali 0,80 m;
• dekat dengan kabel catu dari kantor telepon dan dekat dengan jalan besar;
Penempatan kabel telepon yang sejajar dengan kabel listrik, minimal berjarak 0,10 m.

Pasal 224
Ruang PABX dan TRO sistem telepon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
• ruangan yang digunakan harus bersih, terang, kedap debu, sirkulasi udaranya cukup dan tidak boleh kena sinar
• matahari langsung, serta mempunyai ruangan yang memenuhi persyaratan untuk tempat peralatan;
• tidak boleh digunakan cat dinding yang mudah mengelupas;
• tersedia ruangan untuk petugas sentral dan operator telepon.
Ruang batere sistem telepon harus bersih, terang, mempunyai dinding lantai tahan asam, sirkulasi udara cukup
dan tidak boleh kena sinar matahari langsung.

Pasal 225
Pada setiap bangunan dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m ke atas, harus tersedia peralatan komunikasi darurat untuk keperluan penanggulangan kebakaran.
Sistem peralatan komunikasi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, harus menggunakan sistem khusus sehingga apabila sistem dan peralatan rusak, maka sistem telepon darurat tetap bekerja.
Pada setiap bangunan dengan ketinggian 4 lantai atau 14 m ke atas, harus dipasang sistem tata suara yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengumuman dan instruksi apabila terjadi kebakaran.
Paragraf 7
Instalasi Gas

Pasal 226

Sistem instalasi gas beserta sumber dan penempatannya harus mudah diamati, dipelihara, tidak membahayakan, mengganggu dan merugikan lingkungan, bagian bangunan dan instalasi lain serta diperhitungkan berdasarkan standar, normalisasi teknik dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 227
Apabila sumber gas diperoleh dari jaringan perusahaan gas milik Negara, maka harus diikuti peraturan perusahaan gas negara dan peraturan lain yang berlaku.
Pasal 228
Instalasi gas harus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk mengetahui kebocoran gas yang secara otomatis mematikan aliran gas.
Instalasi gas beserta kelengkapannya, harus diuji sebelum digunakan dan diperiksa secara berkala oleh instansi yang berwenang.

Paragraf 8
Instalasi Lain

Pasal 229

Instalasi lain yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan memenuhi segala aspek keamanan, keselamatan terhadap instalasi itu sendiri, bangunan dan lingkungannya.

Bagian Ketujuh
Pelaksanaan Membangun

Paragraf 1
Tertib Pelaksanaan Membangun

Pasal 230

Setiap kegiatan membangun termasuk pekerjaan instalasi dan perlengkapan bangunan harus memperhatikan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang:
keselamatan dan kesehatan;
kebersihan dan keserasian lingkungan;
keamanan dan kesehatan terhadap lingkungan di sekitarnya;
pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.

Pasal 231
Setiap pelaku teknis dalam melaksanakan kegiatan membangun wajib mengikuti petunjuk tenis yang diberikan oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
Apabila pelaksanaan kegiatan membangun menggunakan teknologi/cara baru yang belum lazim, maka sebelum pekerjaan tersebut dilaksakan, pelaksana/pemilik bangunan harus terlebih dahulu mengajukan rencana pelaksanaannya untuk mendapat persetujuan Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

Pasal 232
Ketentuan pelaksanaan kegiatan membangun apabila tidak diatur dalam Peraturan Daerah ini dapat digunakan pedoman peraturan atau ketentuan lainnya yang berlaku umum di Indonesia.

Apabila dalam pelaksaan kegiatan membangun terdapat ketentuan-ketentuan yang belum dan atau tidak diatur pada ayat (1) Pasal ini, maka dapat digunakan pedoman peraturan atau ketentuan lainnya dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.



Paragraf 2
Sarana Pelaksanaan Membangun

Pasal 233

Sebelum kegiatan membangun dilaksanakan harus dipasang papan nama proyek dan batas pekarangan harus dipagar setinggi minimal 2,5 m, dengan memperhatikan keamanan dan keserasian sekelilingnya serta tidak melampaui GSJ.
Untuk kegiatan membangun yang pelaksanaannya dapat mengganggu keamanan pejalan kaki maka pada pagar proyek yang berbatasan dengan trotoar harus dibuat konstruksi pengaman yang melindungi pejalan kaki.

Pasal 234
Jalan dan pintu ke luar masuk pada likasi kegiatan membangun harus dibuat, dan penempatannya tidak boleh mengganggu kelancaran lalu-lintas serta tidak merusak prasarana kota.
Apabila jalan masuk proyek tersebut melintasi trotoar dan saluran umum maka perlu dibuat kostruksi pengaman berupa jembatan sementara untuk lalu-lintas keadaan keluar dan masuk proyek.

Pasal 235
Pemasangan dan pembongkaran bekisting harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan beton bertulang Indonesia.
Perancah dari bahan kayu atau bambu hanya diperbolehkan untuk pelaksanaan kegiatan membangun maksimal 4 lantai sedangkan diatas 4 lantai harus dipakai perancah besi atau yang sejenis.
Konstruksi bekisting dan perancah harus aman dan tidak membahayakan para pekerja dan lingkungan sekitarnya.
Untuk bekisting dan perancah khusus perlu dibuat rencana dan perhitungan strukturnya dengan terlebih dahulu disetujui oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.


Pasal 236
Setiap pelaksanaan kegiatan membangun yang menggunakan alat bantu seperti ramp, jembatan darurat, tangga darurat, jaring pengaman dan alat bantu lainnya karus memenuhi ketentuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja serta ketentuan teknis lain yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
Pasal 237
Pada pelaksanaan kegiatan membangun harus dilengkapi dengan:
alat pemadam api sesuai ketentuan yang berlaku;
sarana pembersih bagi kendaraan yang ke luar proyek;

Pada pelaksanaan kegiatan membangun yang tingginya lebih dari 10 lantai atau lebih dari 40 m, harus dilengkapi dengan lampu tanda untuk menghindari kecelakaan lalu-lintas udara.

Pasal 238
Setiap pelaksanaan kegiatan membangun yang memerlukan instalasi listrik untuk sumber daya listrik darurat, lift angkut barang/orang dan lain-lain yang sejenis dan bersifat sementara harus memenuhi ketentuan yang berlaku.
Pasal 239
Penempatan dan pemakaian alat-alat besar untuk pelaksanaan kegiatan membangun, tidak boleh menimbulkan bahaya dan atau gangguan terhadap bangunan maupun lingkunggannya.
Pasal 240
Bedeng, bangsal kerja, kamar mandi, WC harus disediakan oleh pemborong untuk para pekerja sesuai dengan kebutuhan, dan penempatannya tidak boleh mengganggu lingkungan sekitarnya serta harus memenuhi ketentuan yang berlaku.

Bangunan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, harus dibongkar dan dibersihkan apabila pelaksanaan kegiatan membangun telah selesai.


Paragraf 3
Hasil dan Mutu Pelaksanaan Membangun

Pasal 241

Pada pelaksanaan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, harus diawasi oleh tenaga ahli sesuai bidangnya antara lain:
pekerjaan galian/tanah untuk kedalaman lebih dari 2 m dan atau di lokasi yang rapat;
pekerjaan struktur penahanan tanah;
pekerjaan dewatering;
pekerjaan pondasi dalam;
pekerjaan struktur bangunan khusus.

Pasal 242
Penggalian pondasi pada basement yang memerlukan dewatering, pelaksanaannya tidak boleh merusak lingkungan sekitarnya.
Tata cara dan persyaratan pelaksanaan dewatering ditetapkan oleh Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.

Pasal 243
Pada pekerjaan pondasi tiang pancang yang menggunakan sambungan, harus dilakukan pengwasan dan pengamanan oleh tenaga ahli agar sambungan tersebut berfungsi sesuai dengan perencanaan.
Pada pekerjaan pondasi tiang baja, harus dilakukan pengawasan dan pengamatan terhadap gejala kelelahan tiang dimaksud akibat pemancangan.

Pasal 244
Pekerjaan tertentu yang menurut Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota memerlukan keahlian khusus harus dilakukan oleh tenaga ahli.
Percobaan pembebanan untuk struktur bangunan harus dilaksanakan oleh pemborong dan diawasi oleh direksi pengawas serta mengikuti persyaratan teknis, standar dan prosedur yang berlaku.

Pasal 245
Apabila mutu bahan dan atau hasil pelaksanaan kegiatan membangun diragukan, maka harus dilakukan pengujian dan pengkajian serta hasilnya dilaporkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
Apabila mutu bahan hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini tidak memenuhi persyaratan, maka Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota dapat memerintahkan untuk mengganti bahan yang sudah terpasang.
Mutu bahan struktur bangunan yang belum lazim digunakan harus dibuktikan terlebih dahulu dengan test atau diuji oleh instansi yang berwenang.

Pasal 246
Apabila dalam pelaksanaan membangun terjadi kegagalan struktur, maka pelaksanaan membangun harus dihentikan dan dilakukan pengamanan terhadap manusia dan lingkungan.
Apabila hasil penelitian terhadap kegagalan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini ternyata tidak dapat diatasi dengan perkuatan dan dapat mengakibatkan keruntuhan, maka bangunan tersebut harus dibongkar.

Pasal 247
Pada pelaksanaan pembangunan instalasi listrik, tata udara gedung, plambing serta instalasi lainnya dalam gedung harus aman dan tidak boleh mengganggu atau mengurangi kekuatan sttruktur bangunan.

Paragraf 4
Pengawasan Lingkungan
Pasal 248

Pekerjaan galian dan penimbunan hasil galian serta penimbunan bahan-bahan tidak boleh menimbulkan bahaya atau gangguan lingkungan.
Setiap pekerjaan galian lebih dalam dari 2 m, arus diamankan dari bahaya terjadinya kelongsoran dengan cara memasang konstruksi pencegah kelongsoran dengan cara memasang konstruksi pencegah kelongsoran yang perencanaan dan teknis pelaksanaannya terlebih dahulu disetujui oleh Kepala Dinas Pengawasan Kota.
Pekerjaan galian dan pemasangan struktur pencegah kelongsoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini, harus selalu diawasi oleh tenaga ahli.

Pasal 249
Pada pelaksanaan pondasi yang dapat mengakibatkan stabilitas bangunan di daerah yang berbatasan dengan daerah pelaksanaan terganggu, harus diadakan pengamanan sebelum pelaksanaan pondasi tersebut dimulai, diteruskan dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota.
Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota dapat memerintahkan untuk mengubah sistem pondasi yang dipakai apabila dalam pelaksanaannya mengganggu dan atau membahayakan keamanan dan keselamatan lingkungan di sekitarnya.

Pasal 250
Untuk pelaksanaan bangunan tinggi dan atau bangunan lainnya yang dapat menimbulkan bahaya jatuhnya benda-benda ke sekitarnya, harus dipasang jaring pengaman.
Pelaksanaan bangunan di bawah permukaan air dan dibawah permukaan tanah harus dibuat pengaman khusus agar tidak membahayakan bagi para pekerja maupun lingkungan sekitarnya.

Pasal 251
Pemborong dan atau pemilik bangunan berkewajiban dengan segera membersihkan segala kotoran dan atau memperbaiki segala kerusakan terhadap prasarana dan sarana kota akibat pelaksanaan bangunan sehingga berfungsi seperti keadaan semula.
Pasal 252
Setiap kegiatan membangun yang dilaksanakan secara bertahap dan atau terhenti pelaksanaannya, maka penghentian pekerjaan harus pada kondisi yang tidak membahayakan bangunan itu sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Pasal 253
Pada pelaksanaan kegiatan membangun bangunan bertingkat, pembuangan puing dan atau sisa bahan bangunan dari lantai tingkat harus dilaksanakan dengan sistem tertentu yang tidak membahayakan dan mengganggu lingkungan.
thumbnail
Judul: B A B III KETENTUAN TEKNIS BANGUNAN
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh

Artikel Terkait Peraturan :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. About - Sitemap - Contact - Privacy
Template Seo Elite oleh Bamz Publisher Free Template